Pernah saya membaca sebuah laporan survei di AS bahwa editor naskah di sana 98% adalah autodidaktik. Mereka sebelumnya tidak pernah bercita-cita menjadi editor. Dari survei itu saya becermin tentang hal yang sama ketika kuliah di Prodi D-3 Editing di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saya saat itu masuk pada tahun keempat prodi itu berdiri, yakni tahun 1991.
Kami mahasiswa D-3 Editing disebut-sebut bakal menjadi “makhluk langka”. Apakah editor naskah sudah punah di Indonesia? Bukan seperti itu, tepatnya karena kesadaran penyuntingan (editing) sebagai ilmu dan keterampilan baru benar-benar muncul pada 1980. Saat itu Ikapi Jaya (sekarang Ikapi DKI) menggelar pelatihan editor naskah buku kali pertama sejak Indonesia merdeka. Baru kemudian, Prodi D-3 Editing diluncurkan pada 1988 berkat inisiasi dari Jus Badudu sebagai guru besar di Fakultas Sastra Unpad.
Saya sebenarnya tidak pernah berpikiran menjadi makhluk langka yang tentu bakal dilestarikan dan dijaga. Sama sekali tidak kepikiran menjadi editor naskah sebagai jalan karier. Nasib saja yang membawa saya ke dunia penyuntingan naskah, khususnya dunia penerbitan buku.
Seandainya saja setelah lulus saya diterima sebagai editor bahasa di majalah Forum Keadilan, mungkin saya lebih banyak bergiat di media massa berkala. Mungkin pula saya akan meneruskan tradisi penyuntingan bahasa media yang telah dirintis oleh Slamet Djabarudi–redaktur bahasa di Tempo. Kenyataannya saya tidak diterima di majalah yang didirikan Fikri Jufri itu setelah melamar dan menjalani tes.
Menganggur setahun sebagai penulis dan editor lepas, barulah saya masuk ke dunia penerbitan buku di Penerbit Remaja Rosdakarya sebagai editor naskah. Di penerbit itu sudah lebih dulu ada “kakak tingkat” saya dari angkatan 1988 dan 1989. Saya menjadi editor paling junior. Namun, banyak pembelajaran yang saya pungut langsung dari dunia kerja itu meskipun saya tidak lama berada di Rosda, dari 1995-1997. Sebelumnya, saya sempat pula magang di penerbit mayor, yakni Penerbit Gema Insani Press di Jakarta.
Benarlah bahwa apa yang dipelajari di bangku kuliah tidak serta merta sama dengan realitas kerja sesungguhnya. Namun, bekal pengetahuan dan keterampilan vokasi dari D-3 Editing, sedikit banyak membantu saya beradaptasi dengan kerja sesungguhnya sebagai editor. Malah pada kemudian hari, pengetahuan itu berterima sebagai sebuah inovasi di penerbit. Saat saya menjadi editor karyawan di Penerbit Grafindo Media Pratama, pengetahuan tentang penyuntingan naskah sangat mewarnai praktik editorial di penerbit yang notabene para editornya bukanlah dari mereka yang berlatar belakang ilmu penerbitan seperti saya.
Tanpa terasa menjadi editor sejak 1994 hingga kini 2025 telah lebih dari tiga puluh tahun saya jalani. Artinya, meskipun telah menduduki jabatan pemimpin puncak di penerbit, saya tetap saja masih melakukan pekerjaan menyunting naskah hingga saat ini. Naskah yang saya sunting pun beragam, bukan hanya naskah buku, melainkan juga naskah dalam konteks bisnis dan hukum (regulasi) serta dokumen-dokumen pemerintah. Bahkan, pernah pula saya menyunting dokumen asuransi untuk PT Prudential Indonesia dan dokumen laporan untuk Pusat Kajian Strategis TNI. Hakikat “manusia langka” tadi memang akhirnya saya pahami.
Dari 280 juta penduduk Indonesia mungkin tak sampai 1% berprofesi sebagai editor naskah. Karena itu, mereka yang tersesat ke dunia penyuntingan naskah, sering kali tidak dapat keluar dari dunia itu. Dunia yang ternyata lebih mengasyikkan daripada dunia penulisan. Namun, saya selalu menekankan kepada teman-teman editor naskah untuk juga berprofesi ganda sebagai penulis. Respek seorang penulis terhadap kerja editor sering kali muncul karena editor itu sendiri pun penulis.
Dahulu, Nur Sutan Iskandar, korektor (sebelum menjadi redaktur/editor) yang direkrut oleh Balai Pustaka juga menulis buku. Begitu pula Sutan Takdir Alisjahban, generasi setelah NST, juga menulis buku. Ajip Rosidi, selain sebagai editor juga penulis. Ada juga Pamusuk Eneste yang dikenal sebagai editor sastra di Kelompok Kompas Gramedia, juga seorang penulis. Saya pun mengikuti jejak para pendahulu di dunia penyuntingan naskah itu.
Karena itu, masuk ke dunia penyuntingan naskah dalam perjalanan karier saya ibarat “tersesat membawa nikmat”. Meskipun dulu mantap memilih jurusan A1 Fisika di SMA, saya tidak menyesal putar haluan mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. Itulah jalan hidup.
…….
Penpriners, Anda berkesempatan mendalami perihal penyuntingan naskah sekaligus mengikuti uji kompetensi (sertifikasi) sebagai penyunting naskah bersama Institut Penprin. Pada 5-7 November 2025 akan diselenggarakan Pelatihan dan Sertifikasi Profesi Editor Naskah. Klik tautan berikut ini.
https://institutpenprin.id/diklat/pelatihan-berbasis-kompetensi-sertifikasi-bnsp-editor-naskah/