[Insaf #9] Jadi Ghost Writer: Jangan Ya, Dek, Ya!

Engkau mungkin pernah mendengar tentang ghost writer? Apa yang ada di benak engkau ketika mendengar kata itu? Ghost writer merupakan contoh konkret writerpreneurship dalam dunia tulis-menulis.

Saya menerima sebuah pesan WA. Pengirimnya pernah mengikuti pelatihan penulis yang saya selenggarakan di Jakarta.

Ia bertanya apakah ada privat untuk menjadi ghost writer. Nah, ghost writer atau penulis bayangan ini adalah kerja profesional dari seorang penulis jasa—istilah saya untuk penulis yang menjual jasa kepenulisan kepada orang lain atau sebuah lembaga.

Lantas muncul tudingan miring—dan hal ini wajar saja terjadi—bahwa ghost writer adalah joki atau calo tulisan. Karena itu, tak heran jika ada ungkapan begini.

Jangan ya, Dek! Jangan jadi ghost writer. Itu haram!

Waduh! Ghost writer (GW) semestinya jangan disamakan dengan joki atau calo tulisan yang menawarkan karya tulis siap pakai (tinggal dibubuhi nama pembeli) atau menawarkan pengerjaan karya tulis ilmiah dari hulu sampai ke hilir tanpa kliennya perlu berpayah-payah. Fenomena perjokian karya tulis ilmiah itu sempat dibahas oleh Kompas beberapa waktu lalu sehingga mencoreng benar wajah mentereng perguruan tinggi.

Saya pun teringat syair lagu berjudul “Temanku Punya Kawan” karya Iwan Fals. Ia menyindir mahasiswa yang membeli skripsi lalu merasa bangga berurai air mata ketika diwisuda. Kata Iwan lagi, sarjana begini banyaklah di negeri ini; tiada bedanya dengan roti.

Tentulah saya menerima jika ada seseorang yang hendak belajar menjadi ghost writer sebagai penulis profesional bukan penulis calo. GW diperlukan ketika ada seorang pakar/ahli atau pemilik gagasan (author) yang kesulitan menuangkan buah pikirannya ke dalam tulisan. Saya mencatat ada tiga macam kesulitan itu.

  1. Kesulitan dalam soal waktu karena kesibukan yang luar biasa dari orang tersebut.
  2. Kesulitan dalam soal dari mana memulai tulisan dan bagaimana mengorganisasikan sumber tulisan yang begitu banyak
  3. Kesulitan dalam soal menulis secara baik dan benar sehingga menarik dan mudah dipahami.

Jika tidak ada pertolongan dari seorang GW, si empunya gagasan atau author tidak akan mampu menghasilkan tulisan sampai kapan pun. Maka dari itu, masyarakat akan kehilangan kesempatan mendapatkan explicit knowledge dari tacit knowledge si author yang ternyata sangat diperlukan.

Sudah sering saya mendengar seorang pakar suatu bidang atau seorang profesor yang tidak banyak menghasilkan karya buku, bahkan belum sama sekali. Kendalanya karena ia tidak mendapatkan bantuan dari seorang ghost writer atau tidak tahu apa bahwa ada kemungkinan kolaborasi dalam penanganan gagasannya menjadi naskah buku.

Etika dan Area Kerja Penulis Bayangan

Etisnya GW hanya bekerja untuk membantu penulisan karya yang bukan merupakan syarat kelulusan atau kenaikan pangkat sehingga ia berpotensi dituding sebagai joki tulisan. GW tidak membantu seseorang menulis skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, dan sebagainya. Karena itu, sama saja dengan pembohongan kepada publik.

GW bekerja pada area yang relevan disebabkan alasan kepenulisan yang sebelumnya saya sampaikan, seperti biografi, autobiografi, memoar, dan buku hasil pemikiran (ilmiah populer).

Pernah suatu ketika seseorang bertanya kepada seorang penulis kenalan saya. Apakah si penulis bisa menjadi GW untuk novelnya? Hah, novel?

Jadi, orang yang meminta jasa itu merasa ia punya bahan cerita yang bagus. Lalu, si penulis harus menjadi penulis bayangan untuk mewujudkan gagasannya itu. Itu seperti kasus lipsync di dunia musik. Ia meminjam tangan si penulis untuk menghasilkan novel yang secara teknis akan sulit sekali. Karena itu, tidak ada yang namanya ghost writer untuk karya fiksi.

Ikhlas sebagai Bayangan

Seorang GW harus ikhlas hanya sebagai bayangan si empunya gagasan. Namanya tidak dikreditkan atau ditulis di dalam kover buku, termasuk bagian dalam buku. Namun, terkadang bayangan itu tampak juga. Autobiografi Pangeran Harry bertajuk Spare mengangkat nama J. R. Moehringer sebagai GW. Dua tahun ia menghabiskan waktu menuliskan autobiografi yang kontroversial tersebut.

Jadi, tidak semata-mata GW tidak dikenali dalam sebuah buku. Ia mungkin dikenali karena disebutkan sendiri oleh si empunya gagasan/cerita. Namun, yang pasti namanya tidak disebut-sebut atau dikreditkan pada sebuah buku.

Konsekuensi ia sebagai bayangan memang tampak pada bayaran seorang GW. Moehringer sebagai GW Pangeran Harry dibayar $1 juta atau setara dengan Rp15,5 miliar untuk bekerja selama 2 tahun.

Di Indonesia saya kira belum ada GW dibayar sampai lebih dari 1 M. Kalau ada yang mendapatkan bayaran miliaran, tentu keikhlasan itu makin berlipat ganda. Ya, nggak?

Ketika bergiat di MQ Publishing dan MQS (bagian dari MQ Corp milik Aa Gym) sebagai direktur utama, saya juga melakoni kerja sebagai GW untuk Aa Gym. Beberapa buku yang dikreditkan sebagai karya Aa Gym adalah hasil ghost writing yang saya lakukan. Semua gagasan itu berasal dari ceramah Aa Gym, contohnya buku Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya. Posisi saya bergeser menjadi editor untuk buku tersebut sehingga nama saya tetap muncul.

Dalam beberapa kasus, GW bernegosiasi mengkreditkan namanya sebagai editor atau sebagai penulis kedua (co-author/co-writer). Pengukuhan jenama bagi seorang GW diperlukan untuk memasarkan jasanya kepada klien yang lain selain tentunya portofolio.

Bagaimana, apakah engkau tertarik menjadi GW wahai Penpriners? Mau belajar dan berlatih juga menjadi GW? Engkau harus siap masuk ke alam gaib. He-he-he.

Bagikan informasi ini. 

Artikel lainnya