Kalimantan Utara (Kaltara), provinsi ke-34 Indonesia itu, punya catatan baik tentang literasi. Pada survei Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) 2023 yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional, Kaltara menempati peringkat keenam dengan indeks 69,31%. Kaltara bahkan mengalahkan Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Jambi dalam peringkat sepuluh besar.
Bagaimana Kaltara dapat berjaya dalam literasi? Ketika mengunjungi Kaltara kali pertama tanggal 28–30 Agustus 2024 lalu, saya mendapatkan kesan pemerintah daerahnya memang sangat peduli terhadap peningkatan daya literasi.
Cerita dan data dari Manajer INOVASI di Kaltara, Agus Prayitno, menguatkan kesan itu. Bagi Kaltara melahirkan para penulis buku, terutama buku anak, juga menjadi program penting. INOVASI, LSM dari Australia yang bergiat membantu peningkatan pendidikan di Indonesia memang telah lama bekerja sama dengan pemerintah daerah di Kaltara.
Itu sebabnya tidak mengherankan jika setelah lewat delapan tahun UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan disahkan dan enam tahun setelah PP Nomor 75/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan juga disahkan, Kaltara menjadi provinsi pertama yang secara serius hendak menyusun peraturan daerah.
Kehadiran saya pada 29 Agustus 2024 bersama Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Regulasi, Nur Syarifah; Kepala Pusat Perbukuan, Surpiyatno; dan tim Pusat Perbukuan adalah untuk memfasilitasi penyusunan draf regulasi perbukuan. Acara bertaju Lokakarya Penyusunan Regulasi Perbukuan di Daerah itu dihadiri oleh Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Perpustakaan Daerah, dan para pelaku perbukuan.
Sayang, Gubernur, Wakil Gubernur, dan Sekda tidak dapat hadir, begitu pula para anggota DPRD karena bertepatan dengan waktu batas akhir pendaftaran calon kepala daerah ke KPUD. Namun, kondisi itu tidak mengurangi semangat untuk menyusun peraturan daerah (perda) tentang perbukuan di Hotel Luminor, Tanjung Selor.
Cakupan Regulasi Perbukuan di Daerah
Pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota diberi kewenangan dalam hal tata kelola perbukuan dan literasi, utamanya untuk membangun ekosistem perbukuan yang sehat antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pelaku perbukuan.
Secara ringkas dapat disebutkan pengaturan perbukuan di daerah mencakup
- penyusunan dan penilaian buku teks muatan lokal (provinsi);
- penyediaan dan pendistribusian buku teks utama (provinsi dan kabupaten/kota);
- pengembangan ekosistem perbukuan yang sehat (provinsi dan kabupaten/kota);
- pembinaan dan penyediaan akses berusaha untuk penerbit, pencetak, pengembang buku elektrnoik, dan toko buku (provinsi dan kabupaten/kota);
- pembinaan profesionalits pelaku perbukuan untuk penulis, penerjemah/penyadur, editor, ilustrator, dan desainer (provinsi dan kabupaten/kota);
- pemberian penghargaan kepada pelaku perbukuan (provinsi dan kabupaten/kota); dan
- pengembangan budaya literasi (kabupaten/kota).
Di dalam UU dan PP Sistem Perbukuan telah jelas dibagi kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih meskipun pasti ada irisan dalam program turunan.
Sebagai contoh, provinsi memiliki kewenangan untuk menyusun dan menilai buku teks muatan lokal sehingga provinsi perlu membuka peluang kepada penerbit di daerah atau mendirikan penerbit daerah untuk menyusun dan menerbitkan buku muatan lokal. Lalu, proses penilaiannya merupakan kewenangan provinsi, dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi.
Begitu pula halnya dengan fasilitasi buku-buku yang bernilai sejarah. Pemerintah provinsi dapat menghimpun judul-judul buku lokal yang bernilai sejarah, tetapi sudah langka atau tidak diterbitkan lagi. Melalui peraturan daerah, buku-buku itu diharapkan dapat diselamatkan.
Kaltara Pertama, Siapa akan Menyusul?
Sebelum Kaltara menyatakan serius akan menyusun regulasi perbukuan di daerah, pada tahun 2021 sempat mencuat gagasan penyusunan perda perbukuan di Provinsi Banten. Bahkan, Banten telah menggelar Rapat Kerja Perkembangan Regulasi Perbukuan Nasional dan Inisiasi Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Terkait Sistem Perbukuan. Namun, inisiasi itu tidak terdengar lagi.
Tampaknya tahun 2024 akan menjadi momentum jika mengingat terjadinya transisi di DPRD (hasil pemilu 2024) dan akan terjadi transisi juga di pemerintahan daerah pada 2025 setelah pilkada serentak. Jika digarap sejak sekarang, perda perbukuan dapat dimasukkan ke dalam program legislasi daerah (prolegda) tahun 2025. Jadi, siapa yang akan menyusun perda selanjutnya?
Untuk tingkat kabupaten/kota, sudah ada dua kabupaten yang bersiap menyusun regulasi perbukuan, yaitu Lombok Timur (NTB) dan Nagekeo (NTT). Respons pemerintah daerah dan DPRD sangat diperlukan untuk segera menyusun regulasi perbukuan di daerah.
Daya literasi tak dapat dipisahkan dari perhatian serius terhadap buku, termasuk pelaku perbukuan di daerah. Kita terlalu lama mengabaikan soal ini. Pelaku perbukuan juga bukan hanya penulis yang perlu diperhatikan, melainkan masih ada penerjemah, penyadur, editor, desainer, dan ilustrator. Karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif untuk meningkatkan daya literasi di daerah dan menghasilkan buku-buku bermutu dari daerah.