Pelatihan profesional adalah sebuah bisnis bidang pendidikan. Demikian pula uji kompetensi/sertifikasi profesi adalah sebuah bisnis yang dikendalikan oleh lembaga sertifikasi profesi (LSP). Mereka yang menerjuninya tentu menawarkan jasa diklat agar seseorang terampil sekaligus kompeten pada suatu bidang kompetensi. Perihal kompeten itu yang memang harus dibuktikan dan umumnya tidak dapat dilakukan hanya melalui pelatihan.
Di bidang yang saya tekuni sejak tiga puluh tahun yang lalu, yaitu penulisan dan penerbitan ibarat samudra dan saujana. Begitu banyak orang yang melayarinya, baik sebagai profesi maupun sebagai tuntutan tugas menjadi penulis atau menjadi editor naskah.
Sebagai contoh bidang penulisan ilmiah, para mahasiswa dan dosen harus menguasainya untuk dapat lulus dan naik pangkat. Karena itu, ibarat gula yang manis, dunia penulisan ilmiah dipenuhi semut-semut yang menawarkan jasa mempermudah seseorang untuk menulis skripsi, tesis, disertasi, dan buku. Jasa itu ada yang berbentuk pelatihan penulisan ilmiah, pendampingan, dan ada pula berbentuk jasa penerbitan.
Sebagai profesional di bidang penulisan dan penerbitan, tentu saja saya ingin diakui sebagai penulis dan editor yang kompeten menulis dan menyunting naskah karya tulis ilmiah. Karena itu, saya memerlukan bukti, seperti portofolio dan sertifikat kompetensi.
Saya dianggap kompeten itu tentu berdasarkan pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Misalnya, saya pernah mengenyam pendidikan formal di Prodi D-3 Editing, Universitas Padjadjaran. Lalu, saya melanjutkan S-1 Sastra Indonesia yang juga lebih banyak mendalami ilmu penerbitan. Secara kependidikan saya memenuhi kriteria kompetensi karena sudah memiliki ijazah tanda kelulusan. Namun, tetap saja saya perlu diuji untuk dinyatakan kompeten.
Buku kompetensi dalam bidang penulisan dan penerbitan juga sangat terkait dengan portofolio karya, baik itu karya tulis maupun karya suntingan. Karena itu, bukti ijazah pendidikan formal saja masih belum cukup, perlu ditambah pendidikan nonformal dan bukti pengalaman kerja melalui karya.
Wilayah Abu-Abu
Ada wilayah abu-abu dalam pemberian sertifikat sebagai tanda atau bukti bagi seseorang yang mendalami suatu keahlian. Wilayah itu adalah bias antara pengertian sertifikat pelatihan (kepesertaan) dan sertifikat kompetensi. Di mana letak perbedaannya?
Engkau mungkin pernah melihat seseorang, katakanlah setelah menjadi peserta pelatihan editor, ia mencantumkan gelar nonakademik certified editor (C.Ed.) di belakang namanya. Pencantuman gelar itu patut dipertanyakan dasarnya. Pertama, apakah pelatihan yang diselenggarakan itu berbasis standar kompetensi sebagai kurikulum/silabus pelatihan? Kedua, apakah peserta pelatihan mengikuti uji kompetensi setelah pelatihan?
Penyelenggara pelatihan dan pemberi gelar itu seperti menormalisasi kompetensi dan merasa tidak bersalah apabila syarat untuk memperoleh gelar itu cukup diringankan dengan hanya mengikuti pelatihan. Bahkan, jam pelajaran pelatihan sangat minim tanpa praktik sehingga peserta dianggap semuanya sudah mampu menyerap ilmu-ilmu kanuragan tanpa perlu dipertanyakan. Padahal, di antara peserta pelatihan daring itu ada juga yang tidak mengaktifkan kamera serta hanya mengikuti pelatihan sekenanya saja.
Lembaga pelatihan boleh jadi melihat sikap permisif pada sebagian masyarakat kita yang menerima saja dan menggangap sah sebuah lembaga pelatihan mengeluarkan sertifikat kompetensi tanpa ujian dan menghadiahi mereka gelar di belakang nama. Selain itu, ada sikap feodal yang menganggap gelar itu sebagai wahana menaikkan derajatnya. Fenomena serbainstan ini menjadi dinormalisasi, urusan kompeten atau tidak itu urusan belakangan.
Hal yang menjadi masalah ketika sertifikat pelatihan itu dianggap sebagai sertifikat kompetensi, padahal
- itu hanya formalitas belaka;
- tidak ada mekanisme uji kompetensi yang objektif;
- tidak ada standar dari lembaga yang berwenang, seperti BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sebagai acuan.
Pelatihan yang baik dan benar jika diarahkan untuk menguasai kompetensi bidang tertentu, syaratnya berikut ini:
- materi pelatihan berbasis pada standar kompetensi, dalam hal ini di Indonesia dikenal Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) atau menggunakan standar internasional (seperti ujian TOEFL);
- tutor atau instruktur pelatihan juga orang yang telah mendapatkan lisensi atau sertifikat kompetensi dari lembaga yang berwenang atau memiliki otoritas dan kredibilitas, seperti BNSP;
- materi disampaikan dalam jam pelajaran (JP) yang memadai untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta, termasuk melalui tugas-tugas praktik yang diberikan;
- terdapat uji kompetensi yang objektif dan resmi, misalnya dari lembaga sertifikasi profesi (LSP) berlisensi BNSP.
Dengan demikian, seseorang dinyatakan kompeten apabila ia telah mendapatkan sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi/sertifikasi dari lembaga berwenang seperti BNSP. Dalam hal ini, pencantuman gelar non-akademis pun belum diatur. Jika saya kini memiliki sertifikat kompetensi, saya dapat saja menyebut sebagai jenama seperti Certified Book Editor on Behalf Indonesian Professional Certification Authority (BNSP) atau BNSP Certified Book Editor.
Mari menginsafi soal ini agar jangan sampai masyarakat termakan iming-iming pelatihan berbiaya murah dan langsung menormalisasi pemberian gelar kompetensi profesi tanpa uji kompetensi. Saya sebagai penulis dan editor naskah yang menggeluti bidang ini lebih dari tiga puluh tahun, tidak rela jika ada seseorang yang sekonyong-konyong melabeli dirinya certified book editor tanpa pernah benar-benar mendalami editologi dan mempraktikkan editologi dalam kerja yang sebenarnya.
Sertifikasikan profesimu! Begitu semboyan BNSP. Namun, jangan sampai hanya sertifikasi-sertifikasian tanpa uji kompetensi yang memadai.