[Insaf #10] Sertifikat Pelatihan Bukan Sertifikat Kompetensi

Sertifikat pelatihan jelas berbeda dengan sertifikat kompetensi. Memang lucu ketika kita susah payah mendapatkan pengakuan sertifikat kompetensi, orang lain dengan mudah menormalisasi sertifikat pelatihan menjadi setara sertifikat kompetensi.

Pelatihan profesional adalah bisnis. Demikian pula uji kompetensi/sertifikasi profesi adalah sebuah bisnis. Mereka yang menerjuninya tentu menawarkan jasa agar seseorang terampil sekaligus kompeten pada suatu bidang. Urusan kompeten itu yang memang harus dibuktikan dan umumnya tidak dapat dilakukan hanya melalui pelatihan.

Di bidang yang saya tekuni sejak tiga puluh tahun yang lalu, yaitu penulisan dan penerbitan ibarat samudra dan saujana. Begitu banyak orang yang melayarinya, baik sebagai profesi maupun sebagai tuntutan tugas.

Sebagai contoh bidang penulisan ilmiah, para mahasiswa dan dosen harus menguasainya untuk dapat lulus dan naik pangkat. Karena itu, ibarat gula, dunia penulisan ilmiah dipenuhi semut-semut yang menawarkan jasa mempermudah seseorang menulis skripsi, tesis, dan disertasi. Jasa itu ada yang berbentuk pelatihan penulisan ilmiah dan ada pula berbentuk jasa penerbitan.

Sebagai profesional di bidang penulisan dan penerbitan, tentu saja saya ingin diakui sebagai editor yang kompeten menyunting naskah karya tulis ilmiah. Karena itu, saya memerlukan bukti, seperti portofolio dan sertifikat kompetensi.

Latar saya dianggap kompeten itu tentu dari pendidikan dan pelatihan. Misalnya, saya pernah mengenyam pendidikan formal D-3 Editing di Universitas Padjadjaran. Lalu, dilanjutkan dengan S-1 Sastra Indonesia. Secara kependidikan memenuhi karena saya sudah memiliki ijazah tanda kelulusan. Selain itu, pendidikan nonformal yang saya lalui juga akan menambah bukti.

Bukti lain adalah penugasan saya di suatu lembaga seperti penerbit dan jam terbang saya mengedit karya tulis di penerbit. Bukti-bukti itu membuat saya dapat mengikuti sertifikasi kompetensi melalui jalur portofolio. Begitulah meskipun saya telah mengenyam pendidikan formal dan nonformal, hal itu tak serta merta membuat saya langsung mendapatkan sertifikat kompetensi.

Wilayah Abu-Abu

Ada wilayah abu-abu dalam pemberian sertifikat sebagai tanda atau bukti bagi seseorang yang mendalami suatu keahlian. Wilayah itu adalah bias antara pengertian sertifikat pelatihan (kepesertaan) dan sertifikat kompetensi. Di mana letak perbedaannya?

Engkau mungkin pernah melihat seseorang, katakanlah setelah menjadi peserta pelatihan editor, ia mencantumkan gelar nonakademik certified editor (C.Ed.) di belakang namanya. Pencantuman gelar itu patut dipertanyakan dasarnya. Pertama, apakah pelatihan yang diselenggarakan itu berbasis standar kompetensi sebagai kurikulum/silabus pelatihan? Kedua, apakah peserta pelatihan mengikuti uji kompetensi setelah pelatihan?

Penyelenggara pelatihan dan pemberi gelar itu seperti biasa saja dan merasa tidak bersalah apabila syarat untuk memperoleh gelar itu cukup dientengkan dengan hanya mengikuti pelatihan. Bahkan, jam pelajaran pelatihan sangat minim tanpa praktik sehingga peserta dianggap semuanya sudah mampu menyerap ilmu-ilmu kanuragan tanpa perlu dipertanyakan.

Lembaga pelatihan boleh jadi melihat sikap permisif pada sebagian masyarakat kita yang menerima saja dan menggangap sah sebuah lembaga pelatihan mengeluarkan sertifikat kompetensi tanpa ujian dan menghadiahi mereka gelar di belakang nama. Selain itu, ada sikap feodal yang menganggap gelar itu sebagai wahana menaikkan derajatnya. Fenomena serbainstan ini menjadi berterima, urusan kompeten atau tidak itu urusan belakangan.

Hal yang menjadi masalah ketika sertifikat pelatihan itu dianggap sebagai sertifikat kompetensi, padahal

  • itu hanya formalitas belaka;
  • tidak ada mekanisme uji kompetensi yang objektif;
  • tidak ada standar dari lembaga yang berwenang, seperti BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sebagai acuan;

Pelatihan yang baik dan benar jika diarahkan untuk menguasai kompetensi bidang tertentu, syaratnya berikut ini:

  • materi pelatihan berbasis pada standar kompetensi, dalam hal ini di Indonesia dikenal Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) atau menggunakan standar internasional (seperti ujian TOEFL);
  • tutor pelatihan juga orang yang telah mendapatkan lisensi atau sertifikat kompetensi dari lembawa yang berwenang atau memiliki otoritas dan kredibilitas, seperti BNSP;
  • materi disampaikan dalam jam pelajaran (JP) yang memadai untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta, termasuk melalui tugas-tugas yang diberikan;
  • terdapat uji kompetensi yang objektif, misalnya dari lembaga sertifikasi profesi (LSP) berlisensi BNSP.

Dengan demikian, seseorang dinyatakan kompeten apabila ia telah mendapatkan sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi/sertifikasi dari lembaga berwenang seperti BNSP. Dalam hal ini, pencantuman gelar nonakademis pun belum diatur. Jika saya kini memiliki sertifikat kompetensi, saya dapat saja menyebut sebagai jenama Certified Book Editor on Behalf Indonesian Professional Certification Authority (BNSP).

Mari menginsafi soal serbainstan ini agar jangan sampai masyarakat termakan iming-iming pelatihan berbiaya murah dan langsung menormalisasi pemberian gelar kompetensi profesi tanpa uji kompetensi. Saya sebagai editor naskah yang menggeluti bidang ini lebih dari tiga puluh tahun, tidak rela jika ada seseorang sekonyong-konyong melabeli dirinya certified editor tanpa pernah benar-benar mendalami editologi dan mempraktikkan editologi.

Nanti ada pekerjaan mengumpulkan sertifikat sebanyak mungkin dan ini benar-benar terjadi.

Bagikan informasi ini. 

Artikel lainnya