Cimahi/InstitutPenprin.id
Salah satu kebijakan Kemendikdasmen (dulu Kemendikbudristek) yang berimbas pada penyelenggaraan sayembara penulisan buku anak di Badan Bahasa adalah Perjenjangan Buku. Pedoman yang mulai disusun sejak 2019 itu baru disahkan pada 2022 dalam
Peraturan Kepala BSKAP Nomor 30/2022. Setelah itu, para penulis buku anak memperoleh acuan pasti tentang penulisan buku anak berbasis pada perkembangan kognitif, psikologis, dan kemampuan membaca anak.
Selama ini kala menulis buku anak, termasuk saya dahulu, menggunakan ‘feeling’ saja. Pokoknya asal buku anak, itu pasti pas buat anak mulai usia 7–12 tahun. Padahal, Jean Piaget telah mengeluarkan Teori Perkembangan Kognitif bahwa anak mengalami fase sensorimotor (0–2 tahun), praoperasional (2–7 tahun), operasional konkret (7–11 tahun), sampa dengan operasional formal (>11 tahun).
Perjenjangan Buku versi BSKAP Kemendikdasmen menggunakan pembagian
- pembaca dini (A),pembaca awal (B-1, B-2, B-3),
- pembaca semenjana (C),
- pembaca madya (D), dan
- pembaca mahir (E).
Saat ini secara umum Balai/Kantor Bahasa di bawah Badan Bahasa menyelenggarakan sayembara penulisan buku anak dwibahasa untuk jenjang B-3 dan C. Namun, saya melihat terjadi gagal paham dalam pedoman teknis yang diberikan kepada para penulis/ilustrator. Naskah buku itu masih menggunakan konsep papan cerita (story board).
Konsep papan cerita secara umum digunakan untuk membantu penyiapan naskah berupa teks dengan visual yang dominan. Pada buku-buku cerita bergambar (picture book), papan cerita mutlak digunakan sebagai acuan paginasi (penyusunan) halaman-halaman buku dan alur visual. Halaman buku itu pun masih sangat sederhana dengan ketebalan 16, 24, 32, atau 40 halaman.
Maka dari itu, bentuk papan cerita adalah panel-panel yang diisi teks dan deskripsi gambar. Teks yang minim seperti buku-buku untuk jenjng A, B-1, dan B-2 tentu tidak masalah masuk ke dalam boks panel. Namun, teks yang sudah mulai kompleks, seperti adanya paragraf dan dialog (kalimat langsung) bakal menyulitkan jika menggunakan papan cerita.
Papan cerita berguna dalam menyusun alur visual yang dalam jenis buku cerita bergambar setiap halaman pasti ada gambar. Gambar ada yang berdiri sendiri per halaman dan ada pula yang dibuat melebar (spread)—sangat bergantung pada konsep cerita, termasuk juga muncul dalam bentuk panel-panel apabila ada “pergerakan” di dalam gambar.
Jadi, teks yang minim untuk pembaca yang belum mampu membaca atau baru belajar membaca akan terbantu oleh visual yang mampu menggerakkan imajinasi anak serta merangsang pertumbuhan kosakata mereka. Itu sebabnya pembaca jenjang A, B-1, dan B-2 memerlukan pendampingan (scaffolding) saat membaca.
Hal penting yang harus dipahami bahwa ketika pembaca anak sudah melangkah ke anak tangga jenjang B-3 dan C maka mereka telah memasuki fase operasional konkret dan sebagian operasional formal. Anak-anak pada jenjang ini sudah mulai mampu membaca lancar sehingga memerlukan tantangan dalam bacaan dengan teks yang mulai kompleks. Teks sudah diperkenalkan dalam bentuk paragraf dan sudah diperkenankan menggunakan percakapan antartokoh di dalam teks.
Buku anak jenjang B-3 dan C lazimnya mulai menggunakan pembagian cerita berbasis bab, baik dalam bentuk buku berbab sederhana (chapter book) maupun novel anak. Visual tidak lagi menjadi andalan untuk mengungkapkan cerita, tetapi menjadi pendukung untuk mengenalkan tokoh dan konteks peristiwa/aksi di dalam cerita yang paling menarik. Jika visual tetap berperan penting, porsinya paling banyak 50:50 antara teks dan gambar pada jenjang B-3—bedakan dengan novel grafis misalnya pada jenjang C yang mirip dengan komik.
Lalu, gagal pahamnya di mana? Saya mendengar dan melihat sendiri bagaimana para penulis menyajikan naskah buku anak untuk jenjang B-3 dan C dengan papan cerita. Mereka tidak melakukan pembagian bab sehingga sulit sekali memahami cerita apabila terjadi pergantian latar, seperti lompatan waktu, perpindahan tempat, atau pergantian suasana. Hal itu memang tidak dilakukan pada buku B-1 dan B-2—cerita selesai dalam satu waktu atau satu hari.
Mereka, para penulis itu, memasukkan teks yang dominan ke dalam boks panel dan membuat alur visual pada setiap halaman naskah sehingga saya bayangkan akan terjadi “kekacauan” ketika buku itu diwujudkan ke dalam halaman desain. Jadi, menyusun papan cerita juga tidak disesuaikan dengan alur visual sehingga visual menjadi mengada-ada.
Karena ketidakpahaman itu, wajar jika terjadi kasus seperti berikut. Penulis jenjang B-3/C menyusun naskah tak ada bedanya dengan jenjang B-1 dan B-2. Naskah menjadi terlalu rendah dari segi penyajian, termasuk juga dari segi cerita. Penulis jenjang C kadang juga kebablasan naskahnya terlalu dewasa, tetapi lucunya dihiasi dengan visual yang lengkap seperti buku untuk jenjang di bawahnya.
Mungkin hal itu juga berasal dari petunjuk teknis yang keliru dari Balai/Kantor Bahasa karena tim panitia belum sepenuhnya memahami Perjenjangan Buku. Saya membayangkan buku-buku yang dihasilkan pun menjadi salah kaprah soal jenjang karena tidak ada bedanya dengan jenjang yang lebih rendah.
Sebenarnya, buku model yang telah disusun Pusat Perbukuan (Pusbuk) dapat menjadi acuan—tersedia gratis di SIBI. Buku model untuk jenjang B-3 dan C sudah menggunakan pembagian cerita berdasarkan bab meskipun buku model Pusbuk menerapkan alur visual yang hampir sama dominannya dengan teks—wajar karena Pusbuk merekrut art director dan tim ilustrator untuk “mengeroyok” buku-buku model itu.
Desain teks dan ilustrasi betul-betul direncanakan dengan matang dan keluaran bukunya secara kuantitas juga terbatas lalu bertahap. Saya tidak dapat membayangkan jika keluaran 30–50 judul buku dari Balai/Kantor Bahasa harus digarap seperti buku model Pusbuk dengan visualisasi yang juga dominan. Masalahnya soal waktu, biaya, dan tenaga kreatif yang dilibatkan.
Simpulannya, papan cerita itu tidak relevan digunakan dalam buku jenjang B-3 dan C jika bukan buku yang mengandalkan visual sama dominannya atau lebih dominan dari teks, apalagi ketebalannya mencapai lebih dari 48 halaman. Karena itu, naskah buku anak jenjang B-3 dan C yang sudah menggunakan bab, cukup dibuat seperti naskah biasa. Di buku anak jenjang C, cukup satu ilustrasi mewakili satu bab seperti halnya novel anak klasik.
Salam insaf!
(Bambang Trim, penulis dan editor. Anggota tim penyusun Pedoman Perjenjangan Buku Pusat Perbukuan, pernah menjadi anggota Komite Penilaian Buku Nonteks Pusat Perbukuan, pernah menjadi juri GLN Badan Bahasa dan penulis buku “Panduan Penulisan Cerita Anak” Badan Bahasa, menjadi juri Sayembara Penulisan Buku Anak Dwibahasa di beberapa Balai/Kantor Bahasa, dan editor buku model berjenjang di Pusbuk.)