Memasyarakatkan (Lagi) Penggunaan Markah Koreksi

Mengedit dan mengoreksi dengan markah koreksi? Ini mungkin pengetahuan baru bagi Anda, tetapi semestinya tidak bagi para editor dan korektor. Markah koreksi masih aktual digunakan kini.

Dulu ada sebuah lomba unik yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa Editing di Universitas Padjadjaran. Jenama lomba itu adalah Lomba Kemahiran dan Keterampilan Berbahasa Indonesia (LKKBI). Pada penyelenggaraan tahun 1992, saya mengusulkan terobosan memperkenalkan markah koreksi untuk digunakan dalam lomba menyunting. Pesertanya anak-anak SMA.

Bagi kami mahasiswa Editing, penggunaan markah koreksi—sering disebut copyeditor’s mark atau proofreader’s mark—sudah mulai diperkenalkan sejak semester I. Kami harus menggunakannya dalam mata kuliah Praktik Penyuntingan.

Pada zaman saya baru ada aplikasi pengolah kata WordStar, belum populer yang namanya aplikasi Word dengan sistem WYSIWYG (what you see is what you get). Word sendiri baru mengenalkan fitur Track Changes pada 1990 yang menjadi cikal bakal on screen editing. Jadi, naskah elektronik yang dapat diedit langsung itu belum populer. Semua masih berfokus pada naskah tercetak.

Bagi anak-anak SMA peserta LKBBI, penggunaan markah itu jelas sesuatu yang baru. Mereka diberi kursus kilat menggunakankannya. Lalu, langsung berpraktik pada naskah yang mengandung kesalahan mekanis.

Markah koreksi telah digunakan sejak lama ketika industri penerbitan berkembang pada abad ke-18. Amerika, Jerman, dan Inggris memiliki sistem simbol yang berbeda meskipun terdapat beberapa kesamaan. Inggris menggunakan versi dari British Standard International dengan kode BS 5261 yang mulai diperkenalkan pada 1976. Versi terkini adalah BS 5261-2005.

Sistem lain yang juga populer berasal dari ISO, yaitu ISO 5776:1983 yang kemudian diperbarui menjadi ISO 5776:2016. Gaya selingkung seperti The Chicago Manual of Style juga memuat markah koreksi utama meski hanya satu halaman.

Dalam buku lawas “Komposisi” karya Gorys Keraf dan “Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan” karya Mien A. Rivai, markah koreksi turut ditampilkan. Buku-buku itu terbit antara 1970-an hingga 2000-an awal. Artinya, penggunanya generasi dalam rentang periode itu.

Sejak 2000-an markah koreksi makin jarang digunakan dan dikenali di Indonesia. Maka dari itu, saya berasumsi generasi pengguna buku “Komposisi” masih mengenali dan menggunakan markah koreksi, seperti saya yang mulai menggunakan sejak 1991. Namun, generasi milenial mungkin sudah tidak lagi.

Di Barat penggunaan markah koreksi meluas dan diajarkan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, bahkan sampai kini. Markah itu digunakan sebagai media komunikasi bisu dengan tanda. Antara editor/korektor dan pengatak halaman publikasi sudah saling mengerti. Begitu pula antara editor dan penulis.

Di kampus antara dosen dan mahasiswa sudah saling memahami maksud markah koreksi. Hal itu untuk mengefisienkan instruksi perubahan dan perbaikan yang sama-sama dipahami dan dimaklumi—menghindari ambiguitas jika banyak orang membuat simbol sendiri. Demikian pula di perkantoran, misalnya antara sekretaris dan juru tik.

Di Barat markah koreksi masih aktual diperkenalkan dan diajarkan. Sebuah lembaga pelatihan bernama The Publishing Training Center di London membuka kelas khusus untuk menggunakan markah koreksi berdasarkan BS 5261-2005.

Bagaimana dengan di Indonesia? Markah koreksi hampir punah disebabkan oleh peralihan dari mengedit naskah tercetak ke mengedit naskah digital. Microsoft Word menyediakan Menu Review dan fitur Track Changes. Untuk versi cetak coba (galley proof), Adobe Acrobat menyediakan Menu Edit PDF dengan sagala fiturnya untuk memberi anotasi dan komentar.

Seorang editor bernama Louise Harnby, menggunakan fitur stamps pada Adobe Acrobat untuk memasukkan markah koreksi sehingga hasilnya mirip dengan penggunaan markah secara tradisional pada cetak coba—cetak coba adalah halaman-halaman yang sudah didesain. Jadi, markah koreksi tradisional itu tetap aktual juga digunakan pada naskah digital PDF.

***

Tergerak saya kemudian menulis dan menyusun buku khusus yang mengenalkan markah koreksi. Buku ini bukan saja dapat dibaca dan dipelajari oleh editor dan korektor, melainkna juga siswa, mahasiswa, guru, dosen, sekretaris, staf humas, staf komunikasi korporat, dan siapa pun yang berhubungan dengan tulis-menulis. Faktanya hingga kini kita pun masih menerima dokumen dalam bentuk tercetak.

Saya meyakini rapat Panja Revisi RUU TNI juga masih menggunakan dokumen tercetak. Dokumen itu pasti juga dikoreksi dengan membubuhkan instruksi perbaikan; mungkin ada salah tik atau salah bahasa. Lalu, bagaimana instruksi itu dapat dipahami?

Buku ini dapat dibaca bukan hanya oleh editor dan korektor (proofreader), melainkan juga oleh siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan siapa pun yang ingin kembali menguasai penggunaan markah koreksi.

Pembiasaan menggunakan markah koreksi ini juga berhubungan dengan penajaman intuisi karena terdapat gerakan tangan (motorik halus) dan terjadi proses berpikir.

Tarakan, 19 Maret 2025

Bagikan informasi ini. 

Artikel lainnya