Serba Serbi Menulis Novel Anak

Menulis novel anak merupakan tantangan bagi banyak penulis yang belum pernah memasuki rimba belantara buku anak. Secara sederhana, tulisan ini membahas soal praktik menulis novel anak.

Senyampang asyik menulis novel anak memasuki bab ketiga, saya ingin sekali menulis perihal penulisan novel anak ini. Sekadar berbagi sembari menunggu waktu berbuka yang ternyata masih lama. Ya, tulisan ini saya kerjakan saat Ramadan 1446 H., tepatnya tanggal 21 Maret 2025. Boleh dibaca sambil ngabuburit menanti senja tiba.

Novel anak merupakan salah satu genre dalam sastra anak. Muncul konsep first novel atau novel awal untuk anak sebagai peralihan dari buku cerita bergambar (picture book) yang sangat sederhana ke alur yang lebih kompleks. Di dalam Pedoman Perjenjangan Buku, novel awal dapat diberikan kepada pembaca jenjang B-3.

Mengapa B-3? Jenjang B-3 sudah memungkinkan teks tampil dalam bentuk paragraf lalu cerita sudah dapat dibagi atas bab. Di dalam teks juga dibolehkan menggunakan dialog atau kalimat langsung. Buku B-3 sering juga disebut buku berbab (chapter book).

Di atas level B-3 ada buku untuk jenjang C. Buku jenjang C lebih kompleks dari buku B-3. Jika disetarakan, pembaca kategori jenjang C adalah paling rendah anak usia kelas IV SD dan paling tinggi anak usia kelas VI SD. Mereka umumnya sudah lancar membaca sehingga tidak bermasalah dengan teks panjang, termasuk teks yang minim gambar.

Novel anak dapat dihadirkan untuk jenjang C yang lebih maju. Berikut ini poin-poin yang perlu diperhatikan ketika menulis novel anak.

Premis-Logline-Sinopsis

Ide cerita anak dalam bentuk novel dapat diwujudkan melalui premis, logline, dan sinopsis. Premis berwujud ide pokok dalam 2–3 kalimat. Premis berguna ketika penulis menemukan ide lalu mengeksekusinya agar tidak terlupa. Di dalam premis sudah hadir tokoh dan konflik utama meskipun belum detail.

Contoh premis: Seorang anak perempuan yang rendah diri menemukan seekor kucing yang terlantar. Ia merawatnya diam-diam karena takut ketahuan orang tuanya.

Lebih maju dari premis adalah logline. Logline adalah ringkasan cerita dalam satu paragraf yang menarik dan menggugah rasa ingin tahu.

Contoh logline: Seorang anak perempuan yang rendah diri menemukan seekor kucing yang terlantar. Ia merawatnya diam-diam dan merahasiakannya dari orang tuanya. Namun, rahasianya nyaris terbongkar karena ada anak lain yang menyelidiknya diam-diam.

Secara lengkap ide cerita terwujud dalam bentuk sinopsis. Bentuk ini yang paling dikenal. Sinopsis adalah ringkasan alur cerita yang mencakup awal, tengah, dan akhir, termasuk resolusi konflik.

Contoh Sinopsis:

Gina, seorang anak perempuan yang rendah diri karena tubuhnya yang mungil, menemukan kucing liar yang kelaparn. Ia memutuskan untuk merawatnya diam-diam di gudang yang terpisah dari rumahnya. Ia tidak ingin orang tuanya tahu karena orang tuanya tidak menyukai kucing.

Namun, seorang anak yang curiga melihatnya sering ke gudang lalu menguntitnya. Anak itu melihat langsung ke dalam gudang dan menemukan anak kucing yang lemah. Kucing itu pun dibawanya entah ke mana.

Gina panik ketika tidak menemukan kucingnya di gudang. Ia menangis, tetapi tak mau memberi tahu kepada kedua orang tuanya. Gina yakin kucing itu dicuri orang, bukan pergi sendiri ….

Lalu, apakah seorang penulis harus menulis lebih dulu premis, logline kemudian sinopsis? Jawabnya tidak harus, itu soal kebiasaan saja. Jika langsung membuat sinopsis, silakan dilakukan.

Sinopsis Bukan Blurb

Jadi, sinopsis merupakan ringkasan utuh dari sebuah cerita yang hendak dikembangkan penulis. Sinopsis berfungsi memikat editor dan penerbit untuk menerima naskah. Sinopsis dalam wujud paling singkat adalah 300 kata atau 1 halaman A4, sedangkan paling panjang dalam wujud 1.000 kata (3 halaman lebih).

Banyak orang salah kaprah menyamakan antara blurb (teks iklan di kover belakang buku sebagai sinopsis). Blurb tidak sama dengan sinopsis, bahkan blurb itu singkat dan tidak utuh menggambarkan isi cerita. Blurb ditujukan untuk calon pembaca novel. Fungsinya untuk memantik rasa ingin tahu. Adapun sinopsis ditujukan untuk editor penerbit. Fungsi blurb untuk menarik minat editor untuk menerbitkannya.

Sinopsis menjadi tugas penulis atau pengarang novel, sedangkan blurb menjadi tugas editor di penerbit. Maka dari itu, insaflah untuk tidak menyamakan sinopsis dan blurb. Boleh saja dasar penulisan blurb adalah sinopsis.

Naskah Novel Anak

Naskah novel anak dibuat dalam format naskah biasa terdiri atas bagian awal, bagian isi (dengan pembagian bab), dan bagian akhir. Pada bagian awal mungkin hanya ada halaman judul, halaman daftar isi (opsional), dan prakata/prolog (opsional). Bagian isi terdiri atas bab-bab yang menunjukkan pergerakan alur cerita. Bagian akhir mungkin hanya biografi ringkas penulis karena novel umumnya tidak memerlukan glosarium, daftar pustaka, apalagi indeks.

Apakah novel anak dapat disusun menggunakan papan cerita (story board)? Ini pertanyaan menarik sesuai dengan pengalaman saya memberikan pelatihan dan pendampingan dalam penulisan buku anak di beberapa balai/kantor bahasa. Penggunaan papan cerita untuk menulis novel anak itu jelas tidak umum dan bakal menyulitkan untuk menulis teks panjang yang dibatasi oleh panel-panel.

Unsur visualisasi yang minim juga menjadi argumen bahwa kurang tepatnya penggunaan papan cerita dalam penulisan novel anak, kecuali novel awal yang masih menggunakan banyak ilustrasi dan teks yang minim. Munculnya banyak dialog juga menjadi alasan mengapa model papan cerita kurang tepat.

Papan cerita lebih relevan digunakan dalam perencanaan cerita novel daripada menulis naskah novel itu sendiri. Misalnya, penulis mau menampilkan alur maju dari sebuah cerita dengan memberi deskripsi setiap bab serta catatan naratif yang menggambarkan tokoh dan perwatakannya, latar, serta pergerakan alur. Penulis dapat menggunakan papan cerita.

Sebagai penilaian awal dalam sayembara, papan cerita untuk novel mungkin efektif. Namun, sebagai penilaian menyeluruh, ia menjadi sulit dibaca dan kurang menyajikan imajinasi, termasuk cara penulis menggunakan bahasa dan unsur instrinsik pada cerita.

Simpulannya, menggunakan papan cerita untuk menulis novel anak, terutama jenjang C, hanya mungkin dilakukan pada konsep cerita, bukan naskah secara utuh. Naskah utuh disusun sebagaimana naskah buku biasa tanpa menggunakan tabel atau panel.

Tema Novel Anak

Generasi X yang mengalami masa anak-anak pada 1970-an dan 1980-an sangat akrab dengan novel serial seperti Lima Sekawan dan karya penulis lokal Dwianto Setiyawan. Novel-novel itu beraroma petualangan dan persahabatan khas anak-anak.

Demikian pula novel karya Eyang Djoko Lelono, beliau masih produktif menulis hingga kini. Novel-novel karyanya penuh aroma petualangan.

Anak-anak generasi milenial mungkin banyak yang menikmati euforia novel Harry Potter. Meskipun lebih pas ditujukan untuk anak remaja, Harry Potter dibaca juga oleh anak-anak SD. Novel itu menyajikan dunia fantasi yang luar biasa sehingga mampu membuat pembaca “tersesat” di dalamnya.

Tema-tema petualangan dan fantasi masih mendominasi novel anak hingga kini, selain tema-tema umum, bahkan tema yang termasuk kategori sulit. Tema tentang kesuraman dunia anak, seperti perundungan atau diskriminasi termasuk tema-tema sulit.

Pak Kapus, Kepala Pusat Perbukuan, pernah memantik para penulis untuk coba menulis cerita tentang fenomena di dalam masyarakat kita, yaitu pinjol dan judol. Konteks cerita itu diperlukan sebagai edukasi. Tinggal bagaimana mengemasnya ke dalam cerita yang relevan untuk anak.

Isu-isu seperti perubahan iklim juga menarik untuk dibuat dalam bentuk novel anak sebagai latar cerita atau konflik di dalam cerita ketika tokoh utama berhadapan dengan alam atau tokoh lainnya yang mengancam kelestarian alam. Meskipun terkadang klise, kreativitas seorang penulis dapat memunculkan sisi cerita yang menarik.

Penulis yang kreatif dapat menemukan tema dari ide-ide yang tersembunyi dan setiap hari tersedia. Maka dari itu, banyaklah membaca, banyaklah berjalan, dan banyaklah bersilaturahmi sehingga ide-ide itu menampakkan dirinya. Ingat ide adalah penemuan, bukan pencarian.

Mengapa begitu? Sesuatu yang kita temukan, terkadang tidak perlu dicari ke mana-mana karena ia sudah ada di sekitar kita. Mencari ide itu bagi saya sesuatu yang tidak jelas. Menemukan ide itu lebih konkret karena adanya petunjuk dari Sang Mahakuasa yang diturunkan setiap hari dari langit. Petunjuk bagi orang-orang yang mau berpikir.

Menulis Novel Anak

Menulis novel anak untuk jenjang C itu menantang. Jenjang ini merupakan peralihan dari pembaca anak ke pembaca remaja. Mereka sedang memerlukan suatu arah untuk bertindak dan bersikap tentang fenomena sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat. Karena itu, penulis sudah dapat mengalirkan tema lebih menantang dengan alur yang lebih kompleks.

Pembaca jenjang C pembaca yang serbatanggung. Mereka tidak mau disebut bocil, tetapi juga belum dapat disebut remaja. Mereka adalah ABG. Minat-minat mereka juga meluas pada hal-hal yang mungkin kita lewatkan sebagai orang dewasa yang ingin menulis novel.

Karena itu, penulis novel anak jangan melakukannya karena coba-coba atau sekadar ingin menulis tanpa pengetahuan. Penulis novel anak harus mendalami segala segi sastra anak agar berhasil menulis buku anak yang disukai oleh anak-anak.

Tahun 2022, saya mulai aktif lagi menulis buku anak, termasuk novel anak. Tahun 2023 terbit novel saya berjudul Rahasia Onthel Pak Guru. Novel itu saya terbitkan dan cetak secara terbatas, belum juga ikut dinilaikan di Pusat Perbukuan atau diikutkan dalam lomba. Niatnya memang menulis sesuatu yang mengandung pesan mendalam untuk anak.

Saat ini saya lagi menuntaskan dua novel. Satu novel berjudul Galang dan Rumah Gadang dan satu lagi berjudul Cerita-Cerita dari Tanah Deli. Novel terakhir merupakan memoar masa kecil saya yang disampaikan lewat fiksi anak.

Bagikan informasi ini. 

Artikel lainnya