Gelar di Belakang Nama yang Menyesatkan

Di beranda media sosial sering kali saya membaca seliweran promosi pelatihan dengan embel-embel pemberian gelar di belakang nama. Mungkin dalam algoritma medsos, saya termasuk target. Normalisasi gelar di belakang nama itu makin menggejala dengan menggunakan bahasa Inggris.

Saat merintis sertifikasi penulis dan editor sejak 2017 hingga menjadi LSP PEP 2019, wacana tentang gelar di belakang nama sudah mengemuka. Tahun 2010 saya pun pernah hadir dalam perhelatan Persatuan Editor Malaysia, di Selangor. Saat itu juga sudah mengemuka untuk mencantumkan gelar Ed. di belakang nama para editor yang menegaskan profesi dan kompetensi.

Gelar profesional itu penting yang menandakan seseorang telah melewati serangkaian pendidikan, pelatihan, pengalaman/pekerjaan, dan uji kompetensi. Ia menjadi bukti.

Dalam konteks sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) memang tidak ada pengesahan bahwa setelah dinyatakan kompeten maka seseorang dapat menggunakan gelar di belakang nama, seperti CBE (certified book editor) atau CNBW (certified nonfiction book writer). Namun, di dokumen CV keterangan tersertifikasi itu dapat dicantumkan.

Membaca artikel dari Sarmauli Simangunsong di Hukum Online jelas bahwa pencantuman gelar di belakang nama, baik setelah pelatihan maupun sertifikasi tidak ada dasar hukumnya. Bahkan, pencantuman gelar itu dapat berkonsekuensi pidana.

Pernah juga saya mendapatkan informasi bahwa pemberian gelar di belakang nama dimungkinkan jika lembaga sertifikasi atau lembaga diklat bekerja sama dengan lembaga lain di luar negeri sebagai rekognisi mutual untuk saling memberi pengakuan profesi dan kompetensi.

Gejala seperti yang diungkit Bu Sarmauli itu memang menjadi normalisasi kini. Lembaga diklat ramai-ramai beriklan menjual gelar profesional di belakang nama. Bahkan, seseorang yang tidak diuji, hanya mengikuti pelatihan singkat 1 s.d. 2 hari lalu disahkan “berhak” mencantumkan gelar Certified .…, padahal hanya sertifikat mengikuti pelatihan. Certified dari Hong Kong?

Maka dari itu, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang disebut kompetensi pun menjadi objek obralan yang murah meriah—tanpa perlu memperhatikan durasi seseorang dilatih dan hasil uji kompetensi. Beberapa lembaga diklat juga mencantumkan jumlah/durasi jam pelajaran yang “tidak masuk akal” dibandingkan dengan waktu dan metode pelatihan mereka.

Para penggila dan pemburu gelar yang menjadi target promosi pastilah senang-senang saja. Sederet gelar di belakang nama itu adalah bentuk validasi meskipun mereka tidak benar-benar memiliki kompetensi. Tak peduli pula lembaga yang memberikannya itu adalah lembaga “abal-abal”.

Saya heran juga mereka yang menggerakkan pelatihan dengan gelar di belakang nama itu ternyata memiliki gelar akademik yang mentereng, seperti master dan doktor. Begitulah salah satu karut marut negeri ini.

Bagikan informasi ini. 

Artikel lainnya