Pagi pukul 08.15 WIB, kami meluncur dari Kaliurang menuju daerah Ngaglik, Yogyakarta. Pukul 09.00 WIB, saya sudah dijadwalkan memberikan pelatihan selama empat jam kepada para editor Penerbit Deepublish.
Kalangan dosen dari berbagai perguruan tinggi tentu sangat mengenal penerbit ini. Saya mengenal Deepublish dari promosi gencar mereka sejak beberapa tahun belakangan ini. Dalam istilah ilmu penerbitan, mereka merupakan vanity publisher atau penerbit berbayar/bersubsidi.
Deepublish termasuk yang mengambil peran seperti itu sehingga menimbulkan keheranan pada beberapa orang dosen generasi Baby Boomers. Loh, kok mau menerbitkan buku malah mbayar?
Masyarakat kita, terutama masyarakat akademis memang belum terbiasa dengan model bisnis penerbitan berbayar karena lebih sering berhubungan dengan penerbit tradisional. Namun, seiring tumbuhnya jumlah dosen dan munculnya kebutuhan menerbitkan buku atas nama sendiri, penerbit berbayar pun menjadi pilihan yang logis—daripada memasukkan naskah ke penerbit tradisional lalu menunggu kurasi yang mungkin memakan waktu berbulan-bulan.
Deepublish didirikan lima belas tahun lalu (2010). Pemilik sekaligus CEO-nya bernama An Nur Budi Utama yang biasa disapa Mas Budi. Ia memulai usaha rintisan dari jasa fotokopi yang kemudian berkembang menjadi jasa percetakan dan penerbitan buku. Ayahnya seorang dokter, sedangkan ibunya seorang dosen di sebuah kampus negeri di Cirebon.
Saya memperhatikan berbagai promosi yang gencar dari Tim Deepublish yang terdeteksi sebagai Gen-Z, di berbagai platform media sosial, terutama LinkedIn. Sering kali mereka membagikan e-book gratis berisikan materi tentang penulisan buku, khususnya buku ilmiah.
Namun, dari segi konten memang ada beberapa kelemahan Deepublish soal hakikat penulisan dan penerbitan buku ilmiah seperti yang saya baca dari artikel-artikel di media sosial. Kelemahan yang wajar saya kira sebagaimana dipahami secara jamak tentang buku ilmiah. Artinya, editor Deepublish sebagai garda penerbitan pun menggunakan pemahaman yang berasal dari kebijakan buku di perguruan tinggi secara umum, baik berdasarkan regulasi (Dikti) maupun berdasarkan pemahaman para dosen.
Saya menunjukkan kekeliruan pemahaman itu berbasis ilmu penerbitan, gaya selingkung standar (seperti APA Style), dan regulasi setingkat UU, PP, dan Permen yang telah disahkan oleh pemerintah. Saya sendiri terlibat pada semua penyusunan regulasi tersebut, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, PP Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, dan beberapa Permendikbud turunannya.
Lembaga yang mengurusi soal perbukuan berdasarkan regulasi adalah Pusat Perbukuan (BSKAP, Kemendikdasmen). Namun, Pusat Perbukuan tidak mengurusi buku pendidikan tinggi yang lebih mungkin dikelola oleh Kemenditiksaintek. Berdasarkan pengamatan saya, regulasi perbukuan di pendidikan tinggi belum direvisi sejak 2019—ketika Dikti masih digabung dengan Ristek.
Beberapa orang editor Deepublish kemudian mengikuti lokakarya dan pelatihan yang diadakan oleh Insitut Penprin. Lewat jalan itulah lalu saya diundang ke Deepublish untuk berbagi keinsafan soal penerbitan buku ilmiah. Empat jam memberi materi, saya menyampaikan muatan ringkas tentang hakikat buku ajar/buku teks, monografi riset, buku referensi, dan buku suntingan (edited book yang memuat chapter book). Waktu sedemikian singkat memang tak cukup membedah semua pelik-pelik penulisan dan penerbitan buku ilmiah.
Kepada para editor—yang umumnya para Gen Z itu—saya tekankan perlu melakoni diri sebagai konsultan karena mereka menjadi tumpuan bertanya para dosen perihal penulisan dan penerbitan. Pertanyaan paling sering muncul adalah perbedaan antara monografi dan buku referensi. Selain itu, timbul pula kebingungan membedakan antara buku ajar dan buku teks—apakah memang ada perbedaannya?
Kasus buku yang tidak diberikan ISBN mengemuka juga. Kepada para editor saya informasikan bahwa saat ini Bagian ISBN Perpusnas sedang menyusun dokumen panduan khusus terkait pengajuan ISBN untuk buku ilmiah. Semoga dengan adanya panduan itu semakin jernih tentang mana buku yang layak diberi ISBN dan mana buku yang memang kurang relevan diberi ISBN.
Sehabis mengisi pelatihan, diantar oleh Mas Heru, saya berkesempatan melihat-lihat fasilitas percetakan manasuka (POD) milik Deepublish yang berjenama BU Printing (BU singkatan nama pemiliknya). Sudah ada empat judul buku saya yang diterbitkan CV Penulis Profesional Indonesia (Penprin) dicetak di sana.

Sehari menginsafkan para editor Deepublish saya pun lega karena potensi besar dari penerbit ini adalah mengedukasi para dosen yang menulis buku ilmiah. Pesannya mari kembali bersama ke jalan yang baik dan benar dalam penulisan dan penerbitan buku ilmiah agar mutu buku ilmiah semakin membaik.
Deepublish menghadapi juga banyak kompetitor yang kini menawarkan jasa penerbitan buku ilmiah sangat murah tanpa jaminan mutu, bahkan mempekerjakan editor (entah tidak ada editor) yang sama sekali tidak paham penyuntingan dan penerbitan buku ilmiah. Karena itu, satu keunggulan kompetitif Deepublish yang dapat dirancang adalah membina editor yang andal sebagai konsultan perbukuan.